Potensi yang dimiliki oleh Indonesia di sektor perikanan dan kelautan memang cukup menjanjikan. Luas wilayah perairan yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan garis pantai sepanjang 81 ribu km serta gugusan pulau sebanyak 17.508, Indonesia memiliki potensi ikan cukup menggiurkan, ikan sebanyak 6,26 juta ton per tahun dapat dikelola secara berkelanjutan di sini. Tidak salah jika kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor produk perikanan yang cukup diminati banyak negara.
Berdasarkan neraca perdagangan tahun 2000-2006, ekspor produk perikanan masih mengalami surplus dengan peningkatan sebesar 9% di tahun 2006 dibandingkan tahun 2005. Besarnya nilai peningkatan tersebut mencapai US$ 2 juta. Kontribusi sub sektor perikanan terhadap PDB Nasional juga menunjukkan peningkatan selama kurun waktu 2001-2005 dengan kenaikan rata-rata sebesar 12,77%. Pihak Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyatakan bahwa selama periode Januari-Agustus 2006 ekspor perikanan budidaya mencapai 664,5 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 1,4 milliar, hingga akhir tahun 2006 diperkirakan total ekspor mencapai US$ 2,1 milliar.
Produk-produk perikanan Indonesia juga telah mempunyai pangsa pasar ekspor di beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Pada tahun 2006, AS masih duduk sebagai negara tujuan utama produk perikanan disusul kemudian Cina, Jepang, Uni Eropa serta negara negara lain.
Pasar Utama Ekspor Perikanan Indonesia Tahun 2006
Negara Tujuan | Volume Ekspor (ton) | % Total ekspor Produk Perikanan |
Amerika Serikat | 83.347 | 12.54 |
China | 78.686 | 11.84 |
Jepang | 74.973 | 11.28 |
Uni Eropa | 51.976 | 7.82 |
Negara-negara lainnya | 253.256 | 56.52 |
Total | 542.238 | 100.00 |
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
Ekspor Perikanan Budidaya Indonesia 2006 (US$ juta)
Negara Tujuan | Nilai ekspor (US$juta) |
AS | 475,14 |
Jepang | 409,66 |
Hongkong | 48,39 |
Uni Eropa | 193,56 |
Negara Lainnya | 132,76 |
Sumber: DKP
Berdasarkan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), komoditas ekspor perikanan budidaya yang menjadi unggulan tahun 2006 yaitu udang dengan volume ekspornya mencapai 112.5 juta ton dan nilai ekspor sebesar US$ 739,20 juta, dilanjutkan tuna dengan volume 58.633 ton (US$168,72 juta) dan rumput laut kering sebesar 57.683 (US$28,55 juta).
Penolakan Ekspor Komoditi Perikanan Indonesia
Perkembangan ekspor produk perikanan awal tahun 2007 berjalan jauh dari harapan. Salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia ternyata ditolak di beberapa negara terkait dengan kandungan antibiotiknya yang melebihi ambang batas. Sebagai contoh, kasus penolakan 28 ton udang asal Sumatera Utara baru baru ini oleh negara Jepang. Seperti yang ditulis di harian Bisnis Indonesia, sebanyak 4 kontainer ukuran 20 feet yang berisi udang asal Sumatera Utara ditolak negara Jepang. Penolakan tersebut dengan alasan bahwa kadar antibiotik yang terkandung dalam udang tersebut mencapai 0,01 ppm (part per million).
Sebenarnya, kasus penolakan ekspor ini bukanlah kasus yang baru di sektor perikanan Indonesia. Kasus yang sama juga pernah terjadi di tahun tahun sebelumnya, tahun 2005 dan 2006 misalnya, sebanyak 10 kontainer udang berasal dari Sumatera Utara (juga) yang diekspor ke Uni Eropa melalui pelabuhan Brussels, Belgia ditolak dengan alasan yang sama. Bahkan di tahun 2003 saja, terdapat 14 kasus ekspor perikanan yang ditolak di Uni Eropa dengan rincian 11 kasus produk udang dan 3 kasus produk ikan di mana 12 di antaranya akibat adanya kandungan antibiotik chlorampenicol. Selain itu, ada pula 133 kasus penolakan Amerika Serikat atas produk ekspor Indonesia berkaitan dengan standar mutu produk.
Sehingga jika ditarik kesimpulan sementara berdasarkan kasus-kasus di atas, dari segi kuantitas produk, Indonesia memang berlimpah namun dari segi kesehatan dan keamanan pangan negeri ini masih harus banyak berbenah.
Alasan sama
Penolakan produk perikanan masih dengan alasan yang sama dari kasus ke kasus yang baru. Mengapa alasannya itu-itu saja? Pertanyaan ini memang akan diajukan siapa pun yang melihat perkembangan kasus kasus penolakan produk perikanan Indonesia. Peningkatan mutu serta keamanan produk haruslah menjadi prioritas utama perbaikan komoditi di sektor ini. Mulai dari pengawasan penggunaan antibiotik, pemeliharaan dan tentu saja dukungan penuh dari pemerintah untuk pengembangan sektor. Penyuluhan berkaitan dengan proses pemeliharaan, penggunaan obat untuk udang dan ikan harus dilakukan secara rutin dan berkala. Pengawasan, satu hal yang terasa “sangat sulit” dilakukan di Indonesia. Perlu kesadaran dan komitmen yang kuat untuk membenahi masalah ini. Saat ini, sala satu upaya nyata yang telah ditempuh oleh pemerintah yaitu dengan dibangunnya laboratorium uji mutu di 5 tempat yaitu Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan dan Balai Besar Pengujian Mutu di Muara Baru, Jakarta. Salah satu fungsi alat ini adalah untuk menguji kadar antibiotik yang terkandung dalam komoditi perikanan.
Pengawasan dan kontrol pemerintah terhadap penggunaan antibiotik juga perlu ditingkatkan. Hal ini diperlukan mengingat masih banyak obat yang dilarang untuk produk udang dan ikan, beredar di sini. Jika masih digunakan, obat-obatan ini dapat membahayakan konsumen yang berupa gangguan kesehatan baik akut maupun kronis. Asosiasi Produsen Pakan Udang Indonesia (AP2UI) juga telah menginformasikan bahwa sebanyak 21 merek obat yang yang digunakan untuk udang dan ikan telah dilarang pemakaiannya karena mengandung antibiotik yang berlebihan. Keduapuluh-satu merek obat-obatan yang dilarang tersebut adalah: Fish Septic, Fish Power, Super Cobie, Super ICH, Fish Stabilizer, D-Biomax, Gro Fish, Ocean Free, Super PH-UP, Fish Jenonk, Previta-Fish P, Super Pro Fish-P, Top Fish-P, Pacifik Pro Tech Super, Pacifik Pro Tech Extra Strong, kemudian ada Nutri Fish, Holico Bionic, Shrimp Health, Bio-On, Green Canopy (hormon organic) serta Green Canopy untuk jenis suplemen organik. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa obat-obatan tersebut masih beredar di Indonesia dan buruknya lagi sebagian dari obat tersebut diproduksi di Indonesia.
Dengan masih beredarnya obat terlarang di Indonesia, pengawasaan terhadap penggunaan obat harus dilakukan secara maksimal jika kita tidak ingin kasus yang merusak reputasi produk perikanan Indonesia terjadi lagi. Suka ataupun tidak suka, kasus penolakan yang ini memang cukup merusak nama besar Indonesia sebagai produsen produk perikanan.
Pentingnya Menjaga Keamanan Produk Perikanan
Konsumen global saat ini memang cenderung lebih kritis dan etis dalam memilih produk yang dibelinya. Kritis dalam arti mereka lebih berhati hati dalam membeli produk yang akan mereka gunakan. Etis dalam artian bahwa saat ini muncul kesadaran dalam diri konsumen untuk menggunakan daya belinya menekan perusaaan agar produk yang dihasilkannya dilakukan dengan cara-cara yang etis, fair dan lebih ramah sosial maupun lingkungan. Dengan kecenderungan ini, sebagai produsen kita harus jeli melihat perkembangan, permintaan dan tren-tren pasar yang ada. Produsen yang lebih proaktif mengikuti perkembangan pasar baik domestik dan terutama global sudah pasti produk yang dijual selalu bisa bersaing. Selain kita dapat bersaing dengan produsen lain, dengan mengetahui perkembangan dan permintaan pasar dapat menghindarkan kita dari kejadian buruk yang dapat merusak citra kita sendiri seperti embargo yang baru saja dialami produk perikaan Indonesia di pasar Jepang.Ungkapan “pembeli adalah raja” memang tepat, mereka bebas memilih yang mereka inginkan. Kalau tidak sehat dan tidak sesuai permintaan, ya lewat! Begitu pula dengan standar-standar mutu, kalau tidak memenuhi ya tidak mungkin mereka berminat membeli.
Hal tersebut sudah dialami Indonesia, karena keamanan produknya yang “bermasalah” maka sejak Maret 2006 Indonesia terkena systemic border control, sebuah peraturan yang diterapkan pemerintah Uni Eropa terhadap produk perikanan yang diimpornya. Dengan systemic border control, semua produk perikanan yang masuk ke negara UE harus melalui fase sampling dan proses analisis logam berat. Produk tersebut dikatakan lolos apabila hasil analisisnya tidak menunjukkan adanya kandungan logam yang berbahaya termasuk juga kadar histamin.
Beruntung ancaman embargo yang pernah dikeluarkan UE pada produk perikanan Indonesia urung dilakukan apalagi jika melihat bahwa UE merupakan salah satu negara utama tujuan ekspor produk perikanan. Sudah pasti kita akan rugi! Sebut saja kerugian akibat harga udang kita yang turun di pasaran internasional pasca penolakan ekspor udang kita oleh UE dan Jepang. Pada permulaan tahun 2007 ini harga udang Indonesia turun 15% menjadi sekitar Rp 30.000/kg.
Mengapa keamanan pangan menjadi sebegitu pentingnya harus dijaga?
Dalam industri makanan dikenal istilah food security atau ketahanan pangan. Ketahanan pangan didukung oleh beberapa faktor salah satunya food safety atau keamanan pangan. Selain untuk alasan kesehatan dan menguatkan posisi kita di pasar global, keamanan pangan juga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator ketahanan pangan.
Kembali pada fokus keamanan pangan, kaitan food safety dengan kasus penolakan di atas cukup jelas. Kita ditolak karena produk kita tidak aman dan entah kapan kita sadar bahwa ini bukan permasalahan yang sepele. Bisa jadi tahun depan atau bahkan bulan depan hal ini terulang lagi.
Kasus penolakan ini haruslah menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait seperti pelaku bisnis, badan pengawas sebagai perpanjangan tangan pemerintah serta pemerintah itu sendiri sebagai pembuat kebijakan. Bukan saatnya pemerintah menyalahkan pelaku bisnis atau sebaliknya. Komitmen yang kuat dari semua pihak pastilah bisa untuk mengatasi permasalahan ini. Sayang jika potensi yang sebegitu besar tidak kita lindungi keberlanjutan usahanya.
No comments:
Post a Comment