Breaking

Saturday, June 3, 2017

Biologi Laut dan Reproduksi Penyu Abu-abu (Lepidochelys olivacea)


Ciri-ciri Penyu Abu-abu (Lepidochelys olivacea Eschsholtz). Anatomi penyu laut dapat diamati pada empat sisi, yang dapat digunakan sebagai gambaran hubungan spasial pada struktur penyu laut. Struktur penyu laut terbagi atas empat bagian, bagain dorsal ke arah karapas (cangkang atas), bagian ventral ke arah plastron (cangkang bawah), bagian anterior ke arah kepala, serta bagian posterior ke arah ekor (Wyneken, 2001).

Bentuk luar penyu laut yang sudah dewasa atau yang masih kecil dapat dilihat dari karapas, plastron atau kepalanya (Nuitja, 1992). Identifikasi penyu laut didasarkan atas sisik-sisik (scales) pada kepala, bentuk rahang, jumlah kuku pada kaki serta scutes pada karapas. Scutes pada karapas adalah kulit karapas yang dinomori dari depan ke arah belakang (Gambar 3). Scutes utama sebagai kunci identifikasi adalah marginal, lateral, vertebral dan nuchal, seperti inframarginal (scutes antara plastron dengan karapas) (Gambar 4) (Wyneken, 2001). 


Gambar 3. Penomoran scutes karapas (Wyneken, 2001)

Gambar 4. Scutes karapas (Wyneken, 2001)

Karapas penyu abu-abu berbeda dengan penyu lain, lateral scutes-nya berjumlah 6 sampai 10 buah pada kedua sisi karapas dan karapas relatif melebar serta berwarna kuning keabu-abuan dengan ruas-ruas yang memanjang neural. Bentuk tubuh seperti piring (dish-shaped), batoknya meluas sesuai dengan panjangnya dan ukuran kepala sedang (Gambar 5) (Nuitja, 1992; Pritchard and Mortimer, 1999).
-

Gambar 5. Identifikasi Penyu Abu-abu (Anonim b, 2007)

Karapas pada penyu abu-abu hampir membulat, panjang karapas penyu abu-abu dewasa 63 – 75 cm. Scute pada penyu abu-abu tipis dan tidak tumpang tindih, pada penomoran scute relatif berbentuk asimetri. Plastron pada tukik (anak penyu) berwarna abu-abu gelap, menjelang juvenil warna plastron putih, dan plastron pada penyu abu-abu dewasa berwarna kuning kehijauan. Jembatan scute (penghubung karapas dan plastron) terdiri dari empat inframarginal. Bentuk kepala penyu abu-abu triangular dengan paruh seperti burung beo, serta pada bagian dorsal kepala terdapat empat sisik prefrontal (Gambar 5). Pada setiap kaki terdapat dua cakar (Anonim a, 2006).

Schulz (1975) menyatakan bahwa ukuran penyu abu-abu paling kecil, beratnya jarang mencapai 45 kg, rata-rata beratnya hanya 35 kg. Namun, berdasarkan penemuan Nuitja (1992), ukuran terkecil penyu laut dewasa adalah penyu sisik, sedangkan ukuran terberat dari penyu abu-abu mencapai 75 kg. Penyu abu-abu mencari makan di area dekat muara dan teluk. Penyu ini termasuk karnivora, penyu dewasa biasanya memakan lobster, ikan, moluska, alga. crustacea, ubur-ubur, dan telur ikan, (Reichart, 1993 dalam Marcovaldi 1999; Anonim a, 2006).

Reproduksi Penyu Abu-abu (Lepidochelys olivacea Eschsholtz) 
Semua jenis penyu laut bertelur lebih dari satu kali, dalam periode satu musim. Penyu laut yang bertelur di daerah bermusim empat terutama di bagian utara equator, terjadi pada bulan April sampai akhir Juli (Nuitja, 1992). Moll (1979) dalam Nuitja (1992) melaporkan bahwa musim bertelur pada daerah tropis lebih awal datangnya yaitu antara bulan Desember sampai April dan mungkin dilakukan oleh penyu sampai beberapa kali. Waktu bertelur penyu laut rata-rata membutuhkan waktu 2 jam atau lebih lama. Tahapan bertelur pada berbagai jenis penyu umumnya berpola sama (Nuitja, 1992), yaitu:
  1. Penyu muncul dari hempasan ombak.
  2. Penyu terdiam sementara dan melihat sekelilingnya, penyu bergerak bersamaan dengan pemilihan lokasi sarang.
  3. Penggalian lubang untuk sarang telur.
  4. Telur dikeluarkan satu per satu atau bersamaan 2-3 telur.
  5. Lubang sarang ditutup pasir oleh penyu, lalu dilanjutkan dengan penyamaran jejak.
  6. Penyu kembali ke laut setelah bertelur.

Penyu abu-abu di Suriname dilaporkan bertelur 2 sampai 3 kali dalam setahun dengan interval waktu antara 10 sampai 14 hari. Setelah 3-4 tahun kemudian, penyu tersebut kembali bertelur di pantai semula (Schulz,1975; Nuitja 1992). Penyu abu-abu mempunyai keunikan pada massa bersarang tahunan (arribada) di Orissa (India), yaitu beberapa ribu ekor penyu bermigrasi menuju tempat reproduksi (breeding ground) untuk kawin dan bersarang secara bersamaan. Silas dan Rajagopala (1984) dalam Nuitja (1992) melaporkan bahwa di Pantai Madras, penyu abu-abu mudah dilihat karena datang ke pantai untuk bertelur pada bulan baru terbit sampai bulan purnama.

Sarang penyu mencapai kedalaman sekitar 40-80 cm dengan diameter lubang bagian atas antara 20-30 cm. Jumlah telur dari jenis penyu abu-abu setiap sarang antara 50-147 telur. Periode inkubasi alami telur penyu abu-abu selama 45 sampai 58 hari, namun pada umumnya telur telah menetas antara 48-52 hari. Periode inkubasi telur penyu dipengaruhi oleh besar suhu dalam sarang dan suhu permukaan pasir. Fluktuasi suhu sarang terjadi pada kedalaman 15 cm. Semakin ke dalam, fluktuasi suhu berkurang, sehingga mencapai kestabilan. Ada tidaknya naungan tumbuh-tumbuhan juga mempengaruhi masa inkubasi. Masa inkubasi telur penyu lebih pendek jika sarang bebas naungan, karena intensitas sinar matahari akan mengenai sarang secara baik, sehingga panas dirambatkan ke dalam sarang melalui proses konduksi, konveksi dan radiasi (Nuitja, 1992). 

Tingkat keberhasilan penyu untuk bertelur dan menetaskan telur sangat membantu dalam upaya pelestariannya. Tingkat keberhasilan penyu bertelur dan menetaskan telur (nesting succsess) adalah presentase dari hasil bagi jumlah anak penyu yang lahir dan berhasil hidup dengan jumlah keseluruhan telur yang berhasil menetas. Kestabilan suhu pada perkembangan embrionik telur dalam sarang berperan dalam keberhasilan menetas. Suhu sarang pada kedalaman 45 cm berkisar antara 30-32 °C. Faktor-faktor lainnya yang juga mempengaruhi keberhasilan menetas adalah keberadaan pemangsa. Pemangsa telur penyu adalah babi hutan (Sus scrofa), anjing hutan (Cuon alpinus), dan biawak air (Varanus salvator) (Diamond, 1976; Nuitja, 1992).

Keberhasilan inkubasi telur tergantung pada kondisi lingkungan sarang. Kondisi tersebut adalah temperatur, kelembaban atau kadar air substrat, salinitas, dan tingkat pertukaran gas. Embrio yang berkembang pada umumnya mengalami cukup pertukaran gas, meskipun difusi gas dipengaruhi oleh ukuran butir pasir dan kadar air substrat pasir. Pertukaran gas sangat penting untuk mendukung aktivitas metabolis pada embrio yang berkembang. Batas kisaran suhu bagi perkembangan embrio selama masa inkubasi adalah antara 25-27 °C dan 33-35 °C (Ackerman, 1997).

Menurut Miller (1985), temperatur memiliki pengaruh terbalik dengan periode inkubasi. Perubahan 1 °C dalam kisaran suhu 26-32 °C dapat menambah atau mengurangi periode inkubasi selama 5 hari. Menurut Ackerman (1997) lapisan tengah profil tanah yang lembab menunjukkan kandungan air yang konstan, nilai kandungan air tersebut antara 4–6%, pada lapisan profil tanah tersebut telur penyu diletakkan. Pengaruh perbedaan besarnya kelembaban substrat pasir terhadap embrio sangat jelas. Mortalitas embrio sangat tinggi pada kondisi kering, mengingat bahwa telur penyu laut sangat peka terhadap kondisi kering. Akan tetapi, mortalitas yang tinggi juga dapat disebabkan oleh terendamnya sarang telur oleh air laut dalam jangka waktu yang lama. Ukuran telur meningkat akibat penyerapan dan pertukaran air selama masa inkubasi, tetapi sangat penting diketahui bahwa penetasan dapat berhasil jika telur tidak kehilangan air lebih dari 40% dari berat telur (Miller, 1997).

No comments:

Post a Comment

Adbox